Ketentuan hukum mengenai pelabelan tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan, diantaranya Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan, PP No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, Permendag No.22/M-DAG/PER/5/2010 tentang Kewajiban Pencantuman Label pada Barang, UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Keputusan Menteri Kesehatan No. 924/Menkes/SK/VIII/1996 tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Kesehatan RI No, 82/Menkes/SK/I/1996 tentang Pencantuman Tulisan “ Halal “ pada Label Makanan, Peraturan Menteri Kesehatan RI No.180/Menkes/Per/IV/1985 tentang Makanan Daluwarsa yang telah dirubah dengan Keputusan Dirjen POM No. 02591/B/SK/VIII/91.
UU No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen sebagai undang-undang payung tidak mengatur secara spesifik mengenai pelabelan khususnya produk pangan. Pengaturan secara lebih spesifiknya ada dalam PP No. 69 Tahun 1999. Sebelum PP tersebut lahir, pengaturan pelabelan secara singkat ada dalam UU No. 7 Tahun 1996 tentang pangan. Pasal 1 (3) dari PP No. 69 Tahun 1999 menentukan bahwa yang dimaksud dengan label pangan adalah : setiap keterangan mengenai pangan yang berbentuk gambar, tulisan, kombinasi keduanya atau bentuk lain yang disertakan pada pangan, dimasukkan ke dalam, ditempelkan pada atau merupakan bagian kemasan pangan. Pengertian yang sama juga ada dalam ketentuan pasal 1 angka 15 UU No 7 Tahun 1996.
Lebih lanjut didalam pasal 2 PP No. 69 Tahun 1999 ditentukan bahwa :
1) Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label pada, di dalam, dan atau di kemas pangan.
2) Pencantuman Label sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sedemikian rupa sehingga tidak mudah lepas dari kemasannya, tidak mudah luntur atau rusak, serta terletak pada bagian kemasan pangan yang mudah untuk dilihat dan dibaca.
Kemudian didalam pasal 3 dari PP No. 69 Tahun 1999 tersebut ditentukan bahwa :
1) Label sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 ayat (1) berisikan keterangan mengenai pangan yang bersangkutan.
2) Keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya :
a. nama produk;
b. daftar bahan yang digunakan;
c. berat bersih atau isi bersih;
d. nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia.
e. tanggal, bulan, dan tahun kadaluwarsa.
Dari penjelasan pasal-pasal diatas, dapatlah dilihat bahwa label itu berbeda dengan merek. Menurut pasal 1 angka 1 Undang-Undang N0. 15 Tahun 2001 tentang Merek, merek adalah suatu tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang dan jasa. Merek memiliki kemampuan untuk digunakan sebagai tanda yang dapat membedakan hasil perusahan yang satu dengan perusahaan yang lain.
Ditinjau dari fungsi, merek dapat berfungsi sebagai tanda pengenal untuk membedakan hasil produksi yang dihasilkan seseorang atau beberapa orang secara bersama sama atau badan hukum dengan produksi seseorang/beberapa orang atau badan hukum lain, sebagai alat promosi, sehingga mempromosikan hasil produksinya cukup dengan menyebut mereknya serta sebagai jaminan atas mutu barangnya.
Merek yang kuat ditandai dengan dikenalnya suatu merek dalam masyarakat, asosiasi merek yang tinggi pada suatu produk, persepsi positif dari pasar dan kesetiaan konsumen terhadap merek yang tinggi.
Dengan adanya merek yang membuat produk yang satu beda dengan yang lain, diharapkan akan memudahkan konsumen dalam menentukan produk yang akan dikonsumsinya berdasarkan berbagai pertimbangan serta menimbulkan kesetiaan terhadap suatu merek (brand loyalty). Kesetiaan konsumen terhadap suatu merek atau brand yaitu dari pengenalan, pilihan dan kepatuhan pada suatu merek.
Sehingga jelas, dalam hal ini label dan merek itu berbeda, merek semata-mata lebih difungsikan sebagai tanda pengenal, pembeda, alat promosi suatu produk, sedangkan label sebagai sumber informasi yang lebih lengkap bagi konsumen karena didalamnya termuat representasi, peringatan, maupun instruksi dari suatu produk. Informasi sebagai pengertian merupakan stimuli yang secara konsisten menggerakkan perilaku (behavior) antara si pengirim dan penerima informasi. Selanjutnya Vincent Gaspersz, mengatakan informasi adalah data yang telah diolah menjadi suatu yang berguna bagi si penerima dan mempunyai nilai yang nyata atau yang dapat dirasakan dalam keputusan-keputusan yang sekarang dan keputusankeputusan yang akan datang.
Pada dasarnya informasi adalah data yang penting yang memberikan pengetahuan yang berguna. Apakah suatu informasi itu berguna atau tidak tergantung kepada :
1) Tujuan Si Penerima
Apabila informasi itu tujuannya untuk member bantuan, maka informasi itu harus membantu si penerima dalam apa yang ia usahakan untuk memperolehnya.
2) Ketelitian penyampaian dan pengolahan data Dalam menyampaikan dan mengolah data, inti pentingnya informasi harus dipertahankan. Jadi dengan informasi orang akan memperoleh keterangan yang jelas mengenai sesuatu hal.
Bagi konsumen, informasi tentang barang dan/atau jasa merupakan kebutuhan pokok, sebelum ia menggunakan sumber dananya (gaji, upah, honor atau apa pun nama lainnya) untuk mengadakan transaksi konsumen tentang barang/jasa tersebut. Dengan transaksi konsumen dimaksudkan diadakannya hubungan hukum (jual beli, sewa-menyewa, pinjam-meminjam, dan sebagainya) tentang produk konsumen dengan pelaku usaha itu.
Informasi-informasi tersebut meliputi tentang ketersediaan barang atau jasa yang dibutuhkan masyarakat konsumen, tentang kualitas produk, keamanannya, harga, tentang persyaratan dan/atau cara memperolehnya, terutama jaminan atau garansi produk, persediaan suku cadang, tersedianya pelayanan jas purna jual, dan lain-lain yang berkaitan dengan itu.
Menurut sumbernya, informasi barang dan/atau jasa tersebut dapat dibedakan menjadi tiga. Pertama, informasi dari kalangan Pemerintah dapat diserap dari berbagai penjelasan, siaran, keterangan, penyusun peraturan perundang-undangan secara umum atau dalam rangka deregulasi, dan/atau tindakan Pemerintah pada umumnya atau tentang sesuatu produk konsumen.
Dari sudut penyusunan peraturan perundang-undangan terlihat informasi itu termuat sebagai suatu keharusan. Beberapa di antaranya, ditetapkan harus dibuat, baik secara dicantumkan pada maupun dimuat di dalam wadah atau pembungkusnya (antara lain label dari produk makanan dalam kemasan sebagaimana diatur dalam PP No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan). Sedang untuk produk hasil industry lainnya, informasi tentang produk itu terdapat dalam bentuk standar yang ditetapkan oleh Pemerintah, standar internasional, atau standar lain yang ditetapkan oleh pihak yang berwenang.
Kedua, informasi dari konsumen atau organisasi konsumen tampak pada pembicaraan dari mulut ke mulut tentang suatu produk konsumen, surat-surat pembaca pada media massa, berbagai siaran kelompok tertentu, tanggapan atau protes organisasi konsumen menyangkut sesuatu produk konsumen. Siaran pers organisasi konsumen, seperti Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) tentang hasilhasil penelitian dan/atau riset produk konsumen tertentu, dapat ditemukan pada harian-harian umum, majalah dan/atau berita resmi YLKI, yaitu warta konsumen.
Ketiga, informasi dari kalangan pelaku usaha (penyedia dana, produsen, importir, atau lain-lain pihak yang berkepentingan), diketahui sumber-sumber informasi itu umumnya terdiri dari berbagai bentuk iklan baik melalui media nonelektronik atau elektronik, label termasuk pembuatan berbagai selebaran, seperti brosur, pamflet, catalog, dan lain-lain sejenis itu. Bahan-bahan informasi ini pada umumnya disediakan atau dibuat oleh kalangan usaha dengan tujuan memperkenalkan produknya, mempertahankan, dan/atau meningkatkan pangsa pasar produk yang telah dan/atau ingin lebih lanjut diraih.
Diantara berbagai informasi tentang barang atau jasa konsumen yang diperlukan konsumen, tampaknya yang paling berpengaruh pada saat ini adalah informasi yang bersumber dari kalangan pelaku usaha. Terutama dalam bentuk iklan dan label, tanpa mengurangi pengaruh dari berbagai bentuk informasi pengusaha lainnya. Adapun label merupakan informasi yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam PP No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, Permendag No.22/M-DAG/PER/5/2010 tentang Kewajiban Pencantuman Label pada Barang. Informasi dapat memberikan dampak signifikan untuk meningkatkan efisiensi dari konsumen dalam memilih produk serta meningkatkan kesetiaannya terhadap produk tertentu, sehingga akan memberikan keuntungan bagi perusahaan yang memenuhi kebutuhannya.
Ketiadaan informasi yang tidak memadai dari pelaku usaha merupakan salah satu jenis cacat produk (cacat informasi) yang akan sangat merugikan konsumen. Pentingnya penyampaian informasi yang benar terhadap konsumen mengenai suatu produk, agar konsumen tidak salah terhadap gambaran mengenai suatu produk tertentu. Penyampaian informasi terhadap konsumen tersebut dapat berupa representasi, peringatan, maupun yang berupa instruksi.
--------------------------------------------------------
Rachmad Usman, Hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual : Perlindungan dan Dimensi Hukumnya di Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003
Abdulkadir Muhammad, Kajian Hukum Ekonomi Hak Kekayaan Intelektual, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2001
Ahmad Fauzan, Perlindungan Hukum Hak Kekayaan Intelektual, Bandung: Yama Widya, 2006
Widyahartono, Industri Informasi dalam Dekade 80-an (Informatie Industrie In de Jarem Tachtig D. Overkleeft), Bandung: Alumni, 1983
Vincent Gaspersz,1988, Sistem Informasi Manajemen (Suatu Pengantar), Armico, Bandung
Celine Tri Siwi Kristiyanti, Ibid, 71
Agnes M. Toar, Tanggung Jawab Produk, Sejarah, dan Perkembangannya, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1998