Wednesday, September 11, 2013

Perceraian Menurut Hukum Perdata


Perceraian adalah putusnya ikatan perkawinan antara suami isteri dengan keputusan pengadilan dan ada cukup alasan bahwa diantara suami isteri tidak akan dapat hidup rukun  lagi sebagai suami isteri (Soemiyati, 1982:12).
Dalam KUH perdata (BW) putusnya perkawinan dipakai Istilah ‘pembubaran perkawinan’ (ontbindinng des huwelijks)
Adapun menurut KUH Perdata pasal 208 disebutkan bahwa perceraian tidak dapat terjadi hanya dengan persetujuan bersama.  Dalam Pasal 209 K.U.H. perdata disebutkan alasan-alasan perceraian adalah:
  1. Zinah, berarti terjadinya hubungan seksual yang dilakukan oleh seorang yang telah menikah dengan orang lain yang bukan isteri atau suaminya. Perzinahan itu sendiri harus dilakukan dengan kesadaran, dan yang bersangkutan melakukan dengan bebas karena kemauan sendiri tanpa paksaan, dalam kaitan ini pemerkosaan bukanlah merupakan perzinahan, demikian pula seorang gila atau sakit ingatan atau orang yang dihipnotis atau pula dengan kekerasan pihak ketiga tidaklah dapat disebut melakukan perzinahan.
  2. Meninggalkan tempat tinggal bersama dengan sengaja. Kalau gugatan untuk bercerai didasarkan pada alasan bahwa pihak yang satu pergi meninggalkan pihak lain, maka menurut Pasal 211 K.U.H. perdata gugatan itu baru dapat diajukan  setelah lampau lima tahun dihitung dari saat pihak lain meniggalkan tempat kediaman bersama tanpa sebab yang sah. Selanjutnya Pasal 218 menentukan, bahwa gugatan itu gugur apabila pulang kembali dalam rumah kediaman bersama. Tetapi apabila kemudian ia pergi lagi tanpa sebab yang sah, maka ia dapat digugat lagi setelah lampau 6 bulan sesudah saat perginya yang kedua kali.
  3. Penghukuman dengan hukuman penjara lima tahun lamanya atau dengan hukuman  yang lebih berat, yang diucapkan setelah perkawinan. Dalam hal ini bila terjadi hal yang mengakibatkan adanya penghukuman penjara yang harus dijalankan oleh salah satu pihak selama 5 tahun atau lebih, pihak yang lain dapat mengajukan tuntutan untuk memutuskan perkawinan mereka, sebab tujuan perkawinan tidak lagi dapat berjalan sebagaimana diharapkan oleh masing-masing pihak yang harus hidup terpisah satu sama lain. Disini bukan berarti adanya hukuman penjara tersebut menjadi alasan semata-mata untuk menuntut perceraian, tetapi hukuman itu akan memberi akibat yang mengganggu ketentuan dan kebahagiaan rumah tangga.
  4. Melukai berat atau menganiaya, dilakukan oleh suami atau isteri terhadap isteri atau suaminya, yang demikian sehingga mengakibatkan luka-luka yang membahayakan. Alasan ini semakin diperkuat dengan lahirnya Undang-undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Dalam Pasal 5 ditegaskan “setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkungan rumah tangganya dengan cara: kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan penelantaran rumah tangga”.
Gugatan perceraian harus diajukan ke pengadilan negeri yang didaerah hukumnya si suami memiliki tempat tinggal pokok pada saat mengajukan permohonan termasuk  dalam 831 reglemen acara perdata ataau tempat tinggal sebenarnya bila tidak memiliki tempat tinggal pokok.  Jika pada saat mmengajukan surat permohonan permohonan tersebut  di atas si suami tdak memiliki tempat tinggal pokok atau sesungguhnya di Indonesia,  maka gugatan itu harus diajukan kepada pengadilan negeri tempat kediaman isteri sebenarnya (Pasal 207),  perceraian perceraian sekali-kali tidak dapat terjadi atas persetujuan bersama (Pasal 208).

1 comment:

  1. Apabila suami istri bersepakat untuk bercerai,lalu suami menyuruh istrinya untuk berzinah.
    Apakah zinah itu bisa dijadikan alasan untuk gugat

    ReplyDelete