Monday, June 9, 2014

Perjanjian Dua Pihak Dalam Hukum Positif


A. Pengertian Perjanjian dan Perjanjian Dua Pihak Dalam Hukum Positif
1. Pengertian Perjanjian
Istilah perjanjian berasal dari bahasa Belanda (overeenkomst). Pengertian perjanjian diatur dalam KUH Perdata pasal 1313 yang berbunyi: ”perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.” Menurut doktrin (teori lama) yang dimaksud perjanjian adalah perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Sedangkan menurut teori baru yang dikemukakan oleh Van Dunne, perjanjian adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.
Misalnya: perjanjian jual beli, seorang penjual beras melakukan perjanjian jual beli 1 kuintal beras seharga Rp. 100.000,- dengan pembeli dan pembayarannya dilakukan secara kontan. Dari perjanjian tersebut lahir hak-hak dan kewajiban-kewajiban para pihak. Dalam hal ini penjual berkedudukan sebagai kreditur (ada hak) menerima uang pembayaran dari pembeli sebagai debitur (ada kewajiban).
Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang tersebut saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal yang menimbulkan hubungan hukum. Perjanjian merupakan sumber perikatan yang sangat penting. Perikatan adalah sesuatu yang abstrak, sedangkan perjanjian adalah suatu hal yang kongkrit atau suatu peristiwa. Apabila seseorang atau lebih mengadakan suatu perjanjian, maka mereka bermaksud agar antara mereka berlaku suatu hubungan hukum dan mereka terikat satu sama lain karena janji yang telah mereka berikan.
Dalam Black’s Law Dictionary (1979: 291), perjanjian adalah suatu persetujuan antara dua orang atau lebih, dimana menimbulkan sebuah kewajiban untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu secara sebagian. Dalam pemaparan definisi di atas masih terdapat beberapa hal yang kurang tepat, yakni bahwa para pihak dalam perjanjian hanya semata-mata orang perorangn padahal dalam praktiknya, bukan hanya orang perorang, namun badan hukum juga merupakan subjek hukum.
Dengan demikian, definisi tersebut perlu disempurnakan, bahwa perjanjian adalah: hubungan hukum antara subjek hukum yang satu dengan subjek hukum yang lain dalam bidang harta kekayaan, dimana subjek hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga subjek hukum yang lain berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan yang telah disepakatinya.
Unsur-unsur perjanjian yang tercantum dalam definisi tersebut adalah, sebagai berikut:
  • Adanya hubungan hukum, hubungan yang menimbulkan akibat hukum (timbulnya hak dan kewajiban).
  • Adanya subjek hukum (pendukung hak dan kewajiban).
  • Adanya prestasi, terdiri atas melakukan sesuatu, berbuat sesuatu, dan tidak berbuat sesuatu.
  • Dalam bidang harta kekayaan
Perjanjian memiliki beberapa jenis berdasarkan pada sumber hukum, nama, bentuknya, aspek kewajiban maupun aspek larangannya, diantaranya sebagai berikut:
a. Perjanjian Menurut Sumber Hukumnya
Sudikno Mertokusumo menggolongkan perjanjian berdasarkan sumber hukumnya menjadi beberapa macam, yaitu:
  • Perjanjian yang bersumber dari kebendaan, yaitu perjanjian yang berhubungan dengan peralihan hukum benda. Misalnya: peralihan hak milik.
  • Perjanjian obligatoir, yaitu perjanjian yang menimbulkan kewajiban. Pembeli berkewajiban membayar harga dan penjual berkewajiban menyerahkan barang.
b. Perjanjian Menurut Namanya
Dalam pasal 1319 KUH Perdata menyebutkan bahwa semua perjanjian, baik yang mempunyai suatu nama khusus maupun yang tidak terkenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan-peraturan umum yang termuat dalam KUH Perdata. Dalam pasal ini, menyebutkan adanya dua macam perjanjian menurut namanya, yaitu perjanjian bernama dan perjanjian tidak bernama. Perjanjian bernama adalah perjanjian yang dikenal dalam KUH Perdata, contohnya: jual beli, tukar menukar, sewa menyewa, pinjam meminjam, dan sebagainya. Sedangkan perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang timbul, tumbuh dan berkembang dalam masyarakat tetapi tidak diatur dalam undang-undang secara khusus, contohnya: perjanjian sewa beli, dan sebagainya. 
c. Perjanjian Menurut Bentuknya
Dalam KUH Perdata, tidak disebutkan secara sistematis tentang bentuk perjanjian. Akan tetapi apabila ditelaah dari berbagai ketentuan yang tercantum dalam KUH Perdata, maka perjanjian menurut bentuknya, diantaranya sebagai berikut:
  • Perjanjian konsesuil adalah perjanjian yang lahir cukup dengan adanya kata sepakat antara para pihak.
  • Perjanjian riil adalah perjanjian yang baru terjadi jika barang yang menjadi pokok perjanjian telah diserahkan, contohnya: perjanjian utang-piutang.
  • Perjanjian formil adalah perjanjian yang dibuat secara sepakat juga harus dituangkan dalam bentuk atau disertai formalitas tertentu.
2. Pengertian Perjanjian Dua Pihak
Perjanjian dua pihak atau timbal balik adalah suatu perhubungan hukum harta benda antara dua pihak, yaitu satu pihak berjanji untuk melakukan sesuatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji tersebut. Dapat juga diartikan sebagai perjanjian yang menimbulkan kewajiban-kewajiban kepada kedua belah pihak dan hak serta kewajibannya tersebut mempunyai hubungan satu dengan yang lain. Dalam perjanjian timbal balik tampak adanya prestasi yang seimbang satu sama lain. contohnya: perjanjian jual-beli, sewa-menyewa, tukar menukar dan sebagainya.
Dengan memperhatikan beberapa pengertian perjanjian sebagaimana telah diuraikan, terlihat bahwa perjanjian selalu melahirkan hak dan kewajiban. Perjanjian merupakan perbuatan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum yang menimbulkan akibat hukum. Hal tersebut karena adanya tindakan hukum dari subjek hukum sebagai pendukung hak dan kewajiban. Oleh karenanya, perjanjian lahir sebagai akibat dari suatu proses perbuatan para pihak yang terkait didalamnya. Berdasarkan pada persetujuan, para pihak berjanji untuk saling mengikat diri dalam mewujudkan tujuan tertentu.
Dalam hal ini, perjanjian selalu bersandar pada adanya persetujuan atau kesepakatan dari para pihak. Perjanjian yang lahir dari kesepakatan terjadi apabila terdapat suatu penawaran dari salah satu pihak yang diikuti oleh suatu penerimaan dari pihak lain. Sesuatu yang diterima haruslah sesuai dengan apa yang ditawarkan.
Setiap mengadakan hubungan hukum harus ada kesepakatan antara kedua belah pihak. Jika kesepakatan tidak tercapai, maka tidak terjadi suatu hubungan hukum. Dalam hal ini, para pihak yang mengadakan perjanjian harus menyetujui hal-hal pokok, apa yang dikehendaki pihak yang satu juga dikehendaki oleh pihak yang lain secara timbal balik.
 
B. Asas-asas Dalam Perjanjian
Dalam proses pembentukan dan pelaksanakan perjanjian, secara prinsipil harus berpedoman pada asas-asas tertentu. Asas-asas dalam suatu perjanjian antara lain:
1. Asas Kebebasan Berkontrak
Asas ini adalah salah satu asas yang sangat penting di dalam perjanjian. Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk membuat atau tidak membuat perjanjian, mengadakan perjanjian dengan siapapun, menentukan isi perjanjian, pelaksanaan dan persyaratan, dan menentukan bentuknya perjanjian yaitu tertulis atau lisan. Hukum perjanjian memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja selama tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan.
Berdasarkan asas kebebasan berkontrak yang tercantum dalam Pasal 1338 ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, suatu perjanjian yang dibuat secara sah, mengikat sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya.
2. Asas Konsensualisme
Konsensualisme berasal dari kata “konsensus” yang berarti kesepakatan. Dengan kesepakatan diantara para pihak yang bersangkutan tercapai suatu persesuaian kehendak, artinya apa yang dikehendaki oleh yang sati, dikehendaki pula oleh yang lain. Perjanjian dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata menganut suatu asas yaitu asas konsensualisme, artinya bahwa untuk melahirkan perjanjian cukup dengan sepakat saja. Pada detik tercapainya konsensus, perjanjian tersebut sudah jadi dan mengikat. Misalnya: pada perjanjian jual beli seseorang ingin membeli suatu barang, maka apabila antara orang tersebut dan pemilik barang sudah tercapai kesepakatan mengenai barang dan harganya, maka perjanjian jual beli tersebut sudah lahir dengan segala akibat hukumnya.
3. Asas Itikad Baik
Pasal 1338 ayat (3) Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang selanjutnya disingkat dengan KUH Perdata berbunyi: “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Asas ini merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau kemauan baik dari para pihak.
4. Asas Kepastian Hukum
Perjanjian sebagai figure hukum harus mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikatnya perjanjian, yaitu sebagai undang-undang bagi yang membuatnya.
5. Asas Personalitas
Asas ini merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan atau membuat perjanjian hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini terlihat dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang selanjutnya disingkat dengan KUH Perdata pasal 1315 dan 1340 yang berbunyi: “pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri.” Artinya bahwa seseorang yang mengadakan perjanjian hanya untuk kepentingan dirinya sendiri. Adapun dalam pasal 1340 KUH Perdata berbunyi: “perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya.” Artinya bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya.
 
C. Syarat Sahnya Perjanjian
Syarat sahnya perjanjian dapat dikaji berdasarkan hukum perjanjian yang terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang selanjutnya disingkat dengan KUH Perdata pasal 1320 yaitu untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat diantaranya:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
Dua syarat yang pertama dinamakan syarat-syarat subjektif karena mencakup orang-orang atau subjeknya yang mengadakan suatu perjanjian. Sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat-syarat objektif karena mencakup perjanjian itu sendiri atau objek dari perbuatan hukum yang dilakukan.
Syarat sah perjanjian yang pertama adalah adanya kesepakatan atau konsensus para pihak. Kesepakatan adalah persesuaian upernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya.
Kata sepakat juga dinamakan perizinan, artinya bahwa kedua subjek yang mengadakan perjanjian harus bersepakat, setuju atau seia-sekata mengenai hal-hal yang pokok dalam perjanjian. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak yang lain. Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik. Pernyataan kehendak yang paling banyak dilakukan oleh para pihak adalah dengan bahasa yang sempurna secara lisan dan secara tertulis. Tujuan pembuatan perjanjian secara tertulis adalah agar memberikan kepastian hukum bagi para pihak dan sebagai alat bukti yang sempurna ketika timbul sengketa.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
Kecakapan bertindak adalah kecakapan atau kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang akan menimbulkan akibat hukum. Orang yang membuat perjanjian harus cakap menurut hukum. Pada asasnya, setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya adalah cakap menurut hukum. Ukuran kedewasaan adalah telah berumur 21 tahun dan atau sudah menikah. Dalam pasal 1330 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang termasuk orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian, antara lain:
• Orang-orang yang belum dewasa
• Mereka yang di bawah pengampuan (orang yang pikirannya kurang sehat atau mengalami gangguan mental). Orang yang ditaruh di bawah pengampuan menurut hukum tidak dapat berbuat bebas dengan harta kekayaannya. Ia berada di bawah pengawasan pengampuan. Kedudukannya sama dengan seorang anak yang belum dewasa. Maka seseorang yang berada di bawah pengampuan harus diwakili oleh pengampunya.
• Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-undang dan semua orang kepada siapa Undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu, misalnya seorang istri dalam melakukan perjanjian untuk transaksi-transaksi tertentu harus mendapatkan persetujuan dari suami. Akan tetapi dalam perkembangannya istri dapat melakukan perbuatan hukum, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 31 UU Nomor 1 Tahun 1974 jo, SEMA No. 3 Tahun 1963.
3. Suatu hal tertentu
Suatu perjanjian harus mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang diperjanjikan hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak jika timbul suatu perselisihan. Yang menjadi objek perrjanjian adalah prestasi (pokok perjanjian). Prestasi adalah apa yang menjadi kewajiban debitur dan apa yang menjadi hak kreditur. Prestasi terdiri atas: memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, dan tidak berbuat sesuatu. Misalnya: jual beli rumah, yang menjadi pokok perjanjian adalah menyerahkan hak milik atas rumah dan menyerahkan uang harga dari pembelian rumah tersebut.
4. Suatu sebab yang halal
Yang dimaksud dengan sebab atau causa dari suatu perjanjian adalah isi perjanjian itu sendiri. Misalanya: dalam suatu perjanjian jual beli isinya adalah pihak yang satu menghendaki uang. Dalam perjanjian sewa menyewa isinya adalah pihak yang satu menginginkan kenikmatan sesuatu barang dan pihak yang lain menghendaki uang. Dengan demikian, apabila seseorang melibatkan pembunuhan dalam suatu perjanjian, misalnya: si penjual hanya bersedia menjual pisaunya asalkan si pembeli mau membunuh orang. Maka isi perjanjian tersebut menjadi sesuatu yang terlarang.
 
D. Batalnya Perjanjian
Seperti yang kita ketahui bahwa ada dua persyaratan untuk menentukan sahnya suatu perjanjian, diantaranya:
  1. Persyaratan subjektif, yaitu kesepakatan dan kecakapan; dan
  2. Persyaratan objektif, yaitu suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal
Apabila persyaratan subjektif, tidak terpenuhi maka perjanjian dapat dibatalkan (pembatalan) oleh salah satu pihak melalui pengadilan. Sedangkan apabila yang tidak terpenuhi syarat objektif, maka perjanjian tersebut batal demi hukum.
1. Pembatalan
Suatu perjanjian batal dengan sendirinya apabila salah satu syarat subjektif (kesepakatan dan kecakapan) tidak terpenuhi. Perjanjian yang kekurangan syarat-syarat subjektif, yang menyangkut kepentingan seseorang dan mungkin tidak menginginkan perlindungan hukum pada dirinya, misalnya: seseorang yang dianggap tidak cakap oleh undang-undang, tetapi sanggup memikul tanggung jawab sepenuhnya terhadap perjanjian yang telah dibuatnya.
Dalam hal adanya kekurangan mengenai syarat subjektif, undang-undang menyerahkan kepada pihak yang berkepentingan, apakah ia menghendaki pembatalan perjanjiannya atau tidak. Oleh karena itu, perjanjian tersebut bukan batal demi hukum, melainkan dapat dimintakan pembatalan.
Terdapat dua cara untuk melakukan pembatalan dalam suatu perjanjian, diantaranya: pertama, pihak yang berkepentingan secara aktif sebagai penggugat meminta kepada hakim supaya perjanjian tersebut dibatalkan. Sedangkan cara yang kedua, menunggu sampai ia digugat di depan hakim untuk memenuhi perjanjian tersebut. Di depan sidang Pengadilan, ia sebagai tergugat mengemukakan bahwa perjanjian tersebut telah disetujui ketika ia masih belum cakap, selanjutnya ia memohon kepada hakim supaya perjanjian tersebut dibatalkan.
2. Batal demi hukum
Mengenai batal demi hukum adalah apabila persyaratan objektif (suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal) tidak dipenuhi. Perjanjian yang tidak mengandung sesuatu hal tertentu, dapat dikatakan bahwa perjanjian tersebut tidak dapat dilaksanakan karena tidak jelas apa yang dijanjikan oleh masing-masing pihak. Begitu juga perjanjian yang isinya tidak halal, tidak boleh dilaksanakan karena melanggar hukum atau kesusilaan. Perjanjian-perjanjian tersebut harus dicegah, dari sudut keamanan dan ketertiban.
Ini berarti bahwa perjanjian tersebut seolah-olah tidak pernah ada, atau sejak semula secara yurudis tidak pernah ada hubungan hukum. Ini berarti pula bahwa salah satu pihak tidak dapat melakukan tuntutan hukum terhadap pihak yang lain, karena tidak ada dasar hukumnya. Sehubungan dengan hal tersebut, maka hakim karena jabatannya diwajibkan menyatakan bahwa tidak pernah ada perjanjian atau perikatan.

---------------------------------------------
R. Soeroso, Perjanjian Di Bawah Tangani, Jakarta, Sinar Grafika, 2010
Salim HS, Perancangan Kontrak & Memorandum of Understanding, Jakarta: Sinar Grafika, 2008
Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa, 2002
Salim, HS, Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta: Sinar Grafika, 2003
Titik Triwulan T, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta: Kencana, 2010
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan - persetujuan Tertentu, Bandung: Sumur, 1985

No comments:

Post a Comment